Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 Januari 2012

menekan aksara dalam bibir dan tertahan
bukan meminta cahaya mata menerangi gelap
hanya sebuah situs dalam kalbu berisi asa dan rencana

jiwa ini, ya jiwa dari seorang makhluk nan nista ini
yang kali ini berusaha mendengar titah dari Sang Pencipta
menggeser setan dalam kelam-bingar dunia maya

aku terduduk di sini, menatap detik yang berdetak
menanti bait demi bait takdir yang t'lah tertulis
bukan menjadi manusia tak berguna yang tak mau berusaha

dalam zawiat ku mengadu dan berharap,
atas kendali ku sebagai manusia terhadap mimpi dan masa depanku
menuntut logika terhadap asa yang tersisa

dan inilah caraku-kini mengejar
bagian dari tulang rusuk ku
tanpa ternoda oleh asap gelap insting seekor hewan

PeDeKate_Seniman Aksara_270112

Rabu, 05 Oktober 2011

Tanpa Hatiny

Aku bersama sepi,
Bukan berdua, melainkan sendiri
Melewati hari ini,
Masih bersama rinduku,
Masih bersama mimpiku


Dan terus ku mencari,
Wangi asa yang tersisa,
Meraba dan mengira,
Dalam tatap kosong mataku


Apakah sang bidadariku mendengar,
Jerit keluh hatiku,
Atas perih luka dari jejak langkahnya meninggalkanku


Dan jika dapat kusampaikan pesan pada hatinya,
Hati ini haus, menunggu manis cinta
Dalam dekap hangat hatinya.

Ini Cintaku

Bahkan ketika tak ada setitik cahaya,
Wangi bayangmu mampu menuntun jalanku,
Tanpa menoleh kanan-kiri,
Menyusuri detik demi detik hidupmu


Ku pahat indah simpul senyummu di hatiku,
Ku pagari dengan baja,
Ku jaga itu,
Tuk hadirkan ketenangan jiwa ini


Dan ketika ku mulai memeluk hatimu,
Bintang di langit pun tersenyum,
Mendengar traktat dengan tinta merah muda,
Yang jujur terucap oleh lisan hatiku


Ku ingin kita samakan ritme degup jantung kita,
Berdiri tegak bersama,
Melangkah bersama,
Mendaki pelangi,
Hingga akhirnya dapat terbang bersama menuju keabadian.

Selasa, 28 Juni 2011

Jayalah Indonesia (part 2): Gas Indonesia

Ketika Anda membaca judul dari artikel ini, mungkin Anda bertanya-tanya, mengapa "gas"?
Mengapa gas seakan sangat penting dari kekayaan(Saya tidak bilang 'kekayaan alam' karena bukan hanya itu yang akan saya bahas di artikel-artikel selanjutnya) Indonesia?
Lalu mengapa tidak dengan minyak bumi?

Langsung saja ke kata awal dari judul artikel ini, kita akan terlebih dahulu membahas tentang Gas Alam..

Gas alam, yang dikenal sebagai metana(CH4) dalam dunia ilmiah, tak dapat dipungkiri saat ini menjadi hal yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi sebagai sumber energi bagi proses produksi. Mungkin Anda pun telah banyak membaca berita tentang keberhasilan pemerintah mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 6-6,5% per tahun di tengah terpuruknya ekonomi dunia beberapa tahun belakangan ini. Tapi tahukah Anda? Sesungguhnya angka tersebut(menurut pikiran awam saya) sangat-sangat bisa ditingkatkan apabila pemerintah bersungguh-sungguh mememfasilitasi dan 'memanjakan' industri dalam negeri dengan kebijakannya.

Menurut data dari Ditjen Migas Kementerian ESDM pada tahun 2010, cadangan gas alam Indonesia yang sudah terbukti mencapai 108,40 TSCF(triliun kaki kubik), sedangkan yang masih dinyatakan potensial sebesar 48,74 TSCF. Sehingga total cadangan gas Indonesia adalah sebesar 157,14 TSCF. Apabila dibagi dengan jumlah produksi gas per tahun sebesar 2,87 TSCF, maka cadangan gas Indonesia bisa kita nikmati hingga lebih dari 50 tahun ke depan. Ini data resmi pada tahun 2010, tapi kemungkinan besar kenyataannya bisa jauh lebih besar karena eksplorasi gas alam di Indonesia belum semaksimal minyak bumi.

Sementara, bagaimana dengan minyak bumi?
Menurut Menteri ESDM cadangan minyak bumi Indonesia tinggal 12 tahun lagi. Sementara masalah utama perminyakan Indonesia terletak pada sisi hilir produksi. Apakah kita harus berpikir untuk membangun infrastruktur untuk membenahi masalah hilir produksi jika kita tau pasokan hulu produksi hanya bisa bertahan untuk 12 tahun ke depan.

Kembali ke topik kita. Dalam pasal  3 UU no.22 tahun 2001 tentang migas disebut dengan jelas bahwa tujuan kegiatan usaha migas adalah menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri. Hal ini diperkuat dengan Permen ESDM no. 3 tahun 2010 pasal 2 yang isinya:
Penetapan kebijakan alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi bertujuan untuk menjamin efisiensi dan efektifitas tersedianya Gas Bumi sebagai sumber energi maupun bahan baku untuk keperluan dalam negeri yang berorientasi pada kemanfaatan Gas Bumi. Menteri menetapkan kebijakan alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dengan mengupayakan agar kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi secara optimal.

Tetapi, apa yang terjadi? Apakah pemerintah menjalankan amanat UU dan Permen tersebut?
Kontrak pasokan gas bumi domestik tahun 2011 tercatat 56,78 persen dari total kontrak atau sekira 4.366 british thermal unit per hari (BBTUD). Sisanya, sekira 3.322 BBTUD atau 43,22 persen diperuntukkan untuk ekspor.
Padahal menurut Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun mengatakan, saat ini, industri di dalam negeri masih kekurangan pasokan gas. Pemerintah, kata dia, baru memenuhi 50 persen gas untuk kebutuhan industri dalam negeri.
"Dari 326 industri yang membutuhkan pasokan gas, baru setengahnya yang mendapatkan pasokan, sisanya belum menerima sama sekali," kata Safiun.
 Lalu, apa alasan pemerintah mengenai hal ini?
Dirjen Migas mengatakan minimnya infrastruktur untuk LNG di Indonesia menghambat pasokan gas untuk dalam negeri. Ini bukan masalah dalam 1 atau 2 bulan yang lalu, ini masalah bertahun-tahun?
Mengapa tidak segera dibuat infrastrukturnya?
Mengapa pemerintah lebih mementingkan permintaan tambahan ekspor gas ke Jepang dan Singapura dibandingkan memenuhi kebutuhan dalam negeri?

Oke, mungkin pemerintah beralasan dapat memperoleh devisa dari hasil ekspor. Tapi, apakah pemerintah tidak memikirkan berapa kerugian industri dalam negeri, kerugian PLN, dan terhambatnya pertumbuhan industri akibat mengganti bahan bakarnya dari gas ke solar.
Apakah pemerintah tidak mempertimbangkan tumbuhnya industri, meningkatnya lapangan kerja hingga berkurangnya subsidi listrik apabila gas yang diekspor tersebut dialihkan untuk kebutuhan dalam negeri?
Itu pikiran awam Saya mengenai kebijakan gas negara ini. Silakan Anda tafsirkan dan tanggapi dengan pendapat Anda sendiri.
Ditunggu komentarnya.
:)

Jumat, 17 Juni 2011

Jayalah Indonesia (part 1): Laut Indonesia

Ini adalah tulisan pertama saya tentang negeri ini. Sebuah pemikiran sederhana, pendapat atau opini pribadi, atau lebih gaul kalo dibilang "uneg-uneg" yg ingin saya sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia agar mereka sadar bahwa mereka tinggal di negara yg sangat kaya dan sudah sepatutnya-lah mereka dapat menikmatinya sebagai manusia yg hidup sejahtera.
Seperti yg telah kita sama-sama pelajari ketika kita duduk di bangku Sekolah Dasar, Republik Indonesia adalah negara kepulauan, dengan begitu jelaslah bahwa negeri yg tercatat memiliki 17.508 pulau ini memiliki wilayah laut yg sangat luas karena 2/3 dari wilayah Indonesia adalah laut(sekitar 3,1 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 juta km2 laut ZEE). Hal ini jika dikelola dengan baik, saya rasa sudah sangat cukup untuk menggerakkan perekonomian Indonesia.
Langsung saja ke titik utama masalah. Laut Indonesia yg sangat luas tersebut dikelola dalam pemerintahan Indonesia di dalam satu kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini sudah sangat wajar dan seharusnya cukup membuat perhatian pemerintah terfokus. Tapi tahukah Anda? PT Perikanan Nusantara, BUMN terbesar yg bergerak di sektor ini hanya memiliki aset sebesar 260 Miliar pada tahun 2007, padahal pada saat yg sama BUMN tersebut mempunyai utang sebesar 290 Miliar. Jumlah yg menurut saya sangat kecil dengan ukuran sebuah negara yg menganut sistem ekonomi campuran dan memiliki potensi kelautan yg sangat besar. Anehnya lagi, perusahaan itu terus merugi hingga akhirnya dapat memperoleh laba sebesar 5 Miliar sebelum pajak pada tahun 2009. Data terakhir, pada tahun 2010 PT Perikanan Nusantara mempunyai 12 cabang di seluruh Indonesia dan memiliki aset sebesar 293 Miliar. Lagi-lagi menurut saya, jumlah itu sangatlah kecil jika dibandingkan dengan potensi kelautan Indonesia, padahal BUMN ini memang dibentuk untuk mencari laba.
Setelah membahas tentang usaha pemerintah secara langsung dalam mengelola sektor perikanan, mari kita melanjutkan ke 'potensi yg hilang' di sektor ini.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, setiap tahunnya Indonesia dirugikan sekitar 9,4 Triliun akibat illegal fishing atau pencurian ikan. Data ini jauh lebih rendah dibandingkan data dari FAO (lembaga pangan dunia) yg menyebutkan Indonesia mengalami kerugian sebesar 30 Triliun per tahunnya. Apalagi jika kita memakai data dari KIARA(Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) yg juga memperhitungkan kerugian negara akibat adanya praktek manipulasi data fisik kapal terkait izin-izin perikanan. Menurut KIARA, kerugian negara per tahunnya adalah sebesar 50 Triliun. Sangat besar bukan?. Hampir sama dengan jumlah penerimaan cukai Indonesia.
Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk mengamankan hak negara kita untuk mengusir para illegal fisher dari wilayah laut Indonesia. Tapi, tidakkah kita dapat berpikir lebih dalam bahwa setidaknya angka-angka minus(kerugian negara) tersebut bukan hanya dapat diubah menjadi nol dengan mengusir para illegal fisher, tapi juga dapat kita jadikan angka positif untuk kesejahteraan rakyat. Dapat Anda bayangkan jika ikan-ikan yg dicuri tersebut justru dijaring oleh PT Perikanan Nusantara. Jadi, laba kotor PT Perikanan Nusantara bukan 5 Miliar, tapi Triliunan rupiah!
Entah sedalam apa pemikiran para petinggi di Kementerian Kelautan Perikanan dan Kementerian BUMN kita, sampai-sampai mereka tidak mau menginvestasikan dana yg cukup besar di sektor ini, sektor yg pasti untung! Kenapa saya bisa bilang seperti itu? Karena para illegal fisher saja yg sudah tahu risiko besar yg didapat apabila tertangkap masih saja berani mencuri ikan, kalau untungnya kecil mana mungkin mereka mau menanggung risiko melanggar hukum.