Total Tayangan Halaman

Selasa, 28 Juni 2011

Jayalah Indonesia (part 2): Gas Indonesia

Ketika Anda membaca judul dari artikel ini, mungkin Anda bertanya-tanya, mengapa "gas"?
Mengapa gas seakan sangat penting dari kekayaan(Saya tidak bilang 'kekayaan alam' karena bukan hanya itu yang akan saya bahas di artikel-artikel selanjutnya) Indonesia?
Lalu mengapa tidak dengan minyak bumi?

Langsung saja ke kata awal dari judul artikel ini, kita akan terlebih dahulu membahas tentang Gas Alam..

Gas alam, yang dikenal sebagai metana(CH4) dalam dunia ilmiah, tak dapat dipungkiri saat ini menjadi hal yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi sebagai sumber energi bagi proses produksi. Mungkin Anda pun telah banyak membaca berita tentang keberhasilan pemerintah mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 6-6,5% per tahun di tengah terpuruknya ekonomi dunia beberapa tahun belakangan ini. Tapi tahukah Anda? Sesungguhnya angka tersebut(menurut pikiran awam saya) sangat-sangat bisa ditingkatkan apabila pemerintah bersungguh-sungguh mememfasilitasi dan 'memanjakan' industri dalam negeri dengan kebijakannya.

Menurut data dari Ditjen Migas Kementerian ESDM pada tahun 2010, cadangan gas alam Indonesia yang sudah terbukti mencapai 108,40 TSCF(triliun kaki kubik), sedangkan yang masih dinyatakan potensial sebesar 48,74 TSCF. Sehingga total cadangan gas Indonesia adalah sebesar 157,14 TSCF. Apabila dibagi dengan jumlah produksi gas per tahun sebesar 2,87 TSCF, maka cadangan gas Indonesia bisa kita nikmati hingga lebih dari 50 tahun ke depan. Ini data resmi pada tahun 2010, tapi kemungkinan besar kenyataannya bisa jauh lebih besar karena eksplorasi gas alam di Indonesia belum semaksimal minyak bumi.

Sementara, bagaimana dengan minyak bumi?
Menurut Menteri ESDM cadangan minyak bumi Indonesia tinggal 12 tahun lagi. Sementara masalah utama perminyakan Indonesia terletak pada sisi hilir produksi. Apakah kita harus berpikir untuk membangun infrastruktur untuk membenahi masalah hilir produksi jika kita tau pasokan hulu produksi hanya bisa bertahan untuk 12 tahun ke depan.

Kembali ke topik kita. Dalam pasal  3 UU no.22 tahun 2001 tentang migas disebut dengan jelas bahwa tujuan kegiatan usaha migas adalah menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri. Hal ini diperkuat dengan Permen ESDM no. 3 tahun 2010 pasal 2 yang isinya:
Penetapan kebijakan alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi bertujuan untuk menjamin efisiensi dan efektifitas tersedianya Gas Bumi sebagai sumber energi maupun bahan baku untuk keperluan dalam negeri yang berorientasi pada kemanfaatan Gas Bumi. Menteri menetapkan kebijakan alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dengan mengupayakan agar kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi secara optimal.

Tetapi, apa yang terjadi? Apakah pemerintah menjalankan amanat UU dan Permen tersebut?
Kontrak pasokan gas bumi domestik tahun 2011 tercatat 56,78 persen dari total kontrak atau sekira 4.366 british thermal unit per hari (BBTUD). Sisanya, sekira 3.322 BBTUD atau 43,22 persen diperuntukkan untuk ekspor.
Padahal menurut Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun mengatakan, saat ini, industri di dalam negeri masih kekurangan pasokan gas. Pemerintah, kata dia, baru memenuhi 50 persen gas untuk kebutuhan industri dalam negeri.
"Dari 326 industri yang membutuhkan pasokan gas, baru setengahnya yang mendapatkan pasokan, sisanya belum menerima sama sekali," kata Safiun.
 Lalu, apa alasan pemerintah mengenai hal ini?
Dirjen Migas mengatakan minimnya infrastruktur untuk LNG di Indonesia menghambat pasokan gas untuk dalam negeri. Ini bukan masalah dalam 1 atau 2 bulan yang lalu, ini masalah bertahun-tahun?
Mengapa tidak segera dibuat infrastrukturnya?
Mengapa pemerintah lebih mementingkan permintaan tambahan ekspor gas ke Jepang dan Singapura dibandingkan memenuhi kebutuhan dalam negeri?

Oke, mungkin pemerintah beralasan dapat memperoleh devisa dari hasil ekspor. Tapi, apakah pemerintah tidak memikirkan berapa kerugian industri dalam negeri, kerugian PLN, dan terhambatnya pertumbuhan industri akibat mengganti bahan bakarnya dari gas ke solar.
Apakah pemerintah tidak mempertimbangkan tumbuhnya industri, meningkatnya lapangan kerja hingga berkurangnya subsidi listrik apabila gas yang diekspor tersebut dialihkan untuk kebutuhan dalam negeri?
Itu pikiran awam Saya mengenai kebijakan gas negara ini. Silakan Anda tafsirkan dan tanggapi dengan pendapat Anda sendiri.
Ditunggu komentarnya.
:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar